Siapa yang tak terpukau oleh Neruda? Penyair besar pemenang nobel tahun 1971, pernah sebagai staf diplomat Chili di Indonesia, dan menganggap WS Rendra sebagai cucunya ini adalah peracik kata-kata cinta yang mahal berharga. Ia mampu mengangkat gairah cinta, menyusun dalam bait kata-kata, estetis sekaligus mistis, dan menggabungkannya dengan semangat revolusi - seperti yang saya nikmati dalam One Hundred Love Sonets.
Gabriel Gárcia Marquez, novelis dan penulis cerita pendek terbesar Columbia , pemenang nobel sastra tahun 1982, pengarang novel sangat terkenal One Hundred Years of Solitude memberikan penilaian, “Bahasa Spanyol adalah bahasa yang paling romantis di dunia setelah berada di tangan Neruda”. Ini menunjukkan bahwa Neruda telah menggucangkan dunia. Banyak penyair dari segala penjuru dunia, termasuk Fauzan Santa, harus belajar darinya.Sampai di sini tak ada yang salah dengan penerbitan dua soneta itu. Tapi dua pembaca telah menuliskan komentarnya dengan sangat sinis, mengebul api, menuduh Fauzan telah mengambil untung di atas nama besar Neruda, dan menganggapnya sebagai plagiator atau penjiplak.
Terjemahan = Plagiat
Menurut Ajib Rosidi, plagiat adalah pengumuman sebuah karya pengetahuan atau seni oleh ilmuwan atau seniman ke publik atas seluruh atau sebagian besar besar karya orang lain, tanpa menyebutkan nama sang pengarang yang diambil karyanya. Sikap tindakan ini agar publik mengakui bahwa karya yang diambil sebagian atau seluruh karya orang lain itu sebagai karyanya (Kompas, 26 Agustus 2006).
Ini tentu terkait dengan prestise dan otoritas kepengarangan sang plagiator.Jika mengambil perspektif ini tentu saja karya terjemahan Neruda di atas tidak dapat dianggap sebagai karya jiplakan. Terjemahan, apalagi terjemahan karya sastra menduduki peran kreatif yang tinggi. Karya sastra, terutama puisi, menurut Goenawan Mohamad (GM), tidak mungkin diterjemahkan, dalam artian memindahkan frasa dan sintagmasi kalimat persis dari karya asli ke dalam bahasa baru.
Karya sastra nan puitik hanya mungkin diinterpretasikan. Ini persis apa yang dilakukan GM ketika mengutip Samuel Beckett, Johann Wolgang Van Goethe, Mahmod Darwish, bahkan Neruda, di dalam “Catatan Pinggir” Tempo-nya.Kita dapat mengembara dalam sejarah plagiat sastra paling menghebohkan di Indonesia, ketika puisi Chairil Anwar, Karawang Bekasi, dianggap sebagai karya jiplakan. Bahkan bukan hanya Karawang Bekasi, ada banyak karya Chairil dianggap tidak orisinil. Ada cerita dari HB Jassin, ketika Chairil berkunjung ke perpustakaannya dan membaca dengan pesona sebuah karya Friedrich Nietszche, Thus Spoken Zarathustra.
Chairil memang melakukan kenakalan kecil. Karena miskin, yang dapat dilakukannya hanya mencuri. Chairil mengiris beberapa lembar buku itu dan menyelipkannya di balik baju. Hal itu diketahui oleh Jassin tapi ia pura-pura tidak tahu. Tapi, pembiaran ini akhirnya melahirkan sesuatu yang dahsyat dalam sejarah puisi modern Indonesia , yaitu lahirnya puisi eksistensialis, Aku. Ketika akhirnya, jauh hari setelah meninggal sang pelopor angkatan 45 itu, dituduh plagiator, lebih mirip gosip selebritas. Ia dianggap menyontek dari karya seniman besar dunia yang berbahasa Inggris dan Belanda, seperti Archibald MacLeish, John Cornford, Hsu Chih-Mo, Conrad Aiken, dan WH Auden.
Namun berdasarkan penelitian mendalam Jassin dan Asrul Sani dimunculkan kesimpulan bahwa Chairil bukanlah seorang plagiator. Ia memang menerjemahkan beberapa karya, tapi sebagian besar karyanya adalah proses kreatif yang otonom.Atas dasar itu penting kembali untuk mendudukkan apa yang terjadi dalam ruang keseniman, terutama seniman Aceh. Proses yang dilakukan Fauzan adalah sebuah proses kreatif yang bermaksud menghidupkan tradisi dalam menginterpretasikan karya-karya besar dunia ke dalam bahasa Indonesia.
Kemungkinan ini masih terbuka dibandingkan menerjemahkan karya seni dunia ke dalam Bahasa Aceh yang terkesan utopia.Bahkan penafsiran puisi Neruda oleh Fauzan terkesan hati-hati, tanpa memasukkan diksi yang lebih mengalir dan berembun dalam bahasa Indonesia-Melayu. Beberapa bagian masih sangat leksikal, dan kurang puitik. Mungkin ketakutannya atau penghormatannya atas karya Neruda, serta tak ingin dianggap “memperkosa”. Saya mengetahui dengan baik hal ini karena ketika proses menafsirkan ke dalam bahasa Indonesia saya menjadi saksi, bahkan mendiskusikan beberapa hal. Baiklah saya kutip beberapa bagian dan “terjemahan” yang diterbitkan:
It’s today;
all of yesterday dropped away
Among fingers of the light and the sleeping eyes.
Tomorrow will come on its green footsteps;
No one can stop the river of the dawn
Hari ini: segala silam telah pergi
Diantara jemari cahaya dan mata yang tidur
Esok akan tiba dengan langkah hijaunya
Tak ada yang sanggup menghambat sungai baru
Kata-kata ini bukanlah “puisi Neruda”, karena puisi Neruda sebenarnya adalah bahasa Spanyol. Stephen Tapscott lah yang bertanggung jawab memindahkannya dalam bahasa Inggris. Karena saya dan juga Fauzan buta teks Spanyol yang berada di sisi kiri setiap soneta Bahasa Inggris, maka ruang yang memungkinkan dilakukan adalah melihat teks Inggrisnya dan bertahannuts dengan membayangkan Neruda mengawasi kami jika salah menafsirkan.
Cambuknya tentu membuat kami kecut, persis seperti ketika masih kanak-kanak salah membaca Al Quran. Sang habib sudah siap dengan rotan sebagai hukuman.Para pembaca dapat melihat apa yang dilakukan oleh Fauzan. Ia berusaha menggunakan totalitas kebahasaannya, keluar dari pakem gramatologi biasa, dan memindahkannya ke dalam bahasa Indonesia . Setiap penyair akan tersekat dalam pemilihan diksi, dan ini biasa. Setiap penyair mencoba menggagahi setiap kata dan mengawininya.
Proses ini adalah proses kreatif dan bukan menjiplak, terlebih karena nama Neruda tidak dikesampingkan.Bahkan saya memiliki tafsir sendiri atas baris terakhir, “No one can stop the river of the dawn”, yang dalam versi saya berbunyi, “tak seorang pun dapat menghentikan sungai fajar itu”. Apa itu sungai fajar? Itu jelas metafor yang mungkin berarti sungai yang masih jernih, bersih, tanpa ampas. Jika kita konkretkan dalam bahasa awam, sungai fajar itu adalah hulu sungai (fajar adalah perlambang bening dan bersih).
Mungkin itu pula yang membuat Gesang terpesona pada Bengawan Solo. Yang ia maksudkan tentu saja Bengawan Solo di hulu, dimana mata airnya masih jernih. Tidak di hilir yang telah bercampur kotoran pabrik dan Manusia.Tuduhan yang serampangan atas sebuah karya sebagai plagiat memang akan berakibat buruk, baik bagi pengarang yang dianggap plagiator maupun terhadap budaya kreatif menerjemahkan atau menyadur karya-karya besar dunia. Dalam dunia kepenyairan Aceh, sebenarnya penting untuk menggalakkan kesempatan para sastrawan dan penyair menggemukkan pengalamannya dengan membaca karya-karya asing dan menerjemahkannya.
Ini tentu lebih bertanggung jawab dibandingkan meng-copy paste – bahkan dari bahasa yang sama, dan menggadang-gadang sebagai karya orisinil. Kita jangan hanya bisa mengagung-agungkan karya kanonik klasik seperti Syair Perahu-nya Hamzah Al Fansury, yang memang sudah agung itu. Akan tetapi tujuan kita bernafas di bawah bumi ini adalah mencipta hal yang baru. Namun dalam teks adakah hal yang baru? Jika kita mengambil perspektif Roland Barthes tidak ada. “Teks itu ibarat permata. Ia melepaskan warna kepengarangan-Tuhan (teologis).” Kemilaunya kita maknai. Bagi kita, sang penulis (author) adalah mengambil keberanian sang Pengarang sebenarnya (Author-God), dan mengaduknya dalam sejarah pribadi, mencampur, dan membenturkannya. Tidak ada yang orisinal, karena yang ada adalah proses agar teks terus bernyawa.
Dibandingkan menuduh seseorang plagiat, alangkah lebih indah jika kita berkarya, atau mengkritisi karya lain dengan kelapangan hati, melalui berbagai disiplin yang kita punya, dan menjadikan setiap karya yang dikritik sebagai langkah baru dalam berdialektika. Plagiator asli sesungguhnya tidak pernah berkarya. Ia malas, hanya duduk dan menikmati kekayaan karya orang.Namun maksud ini bukanlah bermaksud menghentikan kritik atas karya orang lain. Berkaryalah dan jadilah kritikus sebenarnya. Karena seperti pepatah Latin, Nemo iudex in causa sua. Tak ada orang yang bisa menjadi hakim bagi diri sendiri.
Di akhir tulisan, patut juga mengkritik realitas sosiologis sastrawan Aceh yang semakin sepi mentas, yang pangling ketika banyak proyek musti dilibas. Sayang-seribu-sayang, hidup terasa sangatlah pintas. Tanpa kata-kata bernas. Tanpa nilai-nilai bertunas. Ketika penyair tanpa pena-kertas, dan seniman tanpa kuas-kanvas. [Teuku Kemal Fasya Antropolog]Hak Cipta Terlindungi © Copyrights by The Aceh Institute - 2005 Dilarang keras mengutip, mengacu, mendownload, menggunakan, dan menyebarluaskan isi website ini tanpa seizin penulis asli dan "Aceh Institute" sebagai sumber otentik.