Pages

Saturday, January 24, 2009

Plagiat 2

Tulisan berikut berkaitan plagiat yang leluasa dilakukan oleh ramai orang. Tulisan ini boleh dirujuk sumber asalnya di laman sawang Tahe Acheh Institute di http://id.acehinstitute.org/index.php?option=com_content&view=article&id=279:tentang-kecurigaan-plagiat&catid=16:sastra--budaya&Itemid=28

Tentang Kecurigaan Plagiat

Written by Herman RN Alumni PBSID Unsyiah], on 19-09-2008 05:37
Published in : ,
Sastra & Budaya

Agaknya tulisan saya yang berkelakar tentang cinta di bulan damai, yang saya sarikan dari amatan terhadap Soneta Soneta Neruda di Serambi Indonesia telah membuka gelisah segenap pembaca sastra. Akibatnya, penikmat dan pemikir sastra saling curiga bahwa “Ada apa antara saya dan Fozan Santa”. Tuding menuding hingga usaha pembelaan pun berseliweran, dari meja warung kopi hingga laman Serambi Indonesia (SI) dan Aceh Institute (AI).

Tak ada yang salah dari sebuah diskusi, baik yang berpihak maupun tidak. Namun, kecurigaan banyak penafsir menggelitik saya harus menuliskan kembali cerita tentang kata “plagiat dan penerjemahan” terhadap sebuah karya sastra di ruang ini. Apalagi, tatkala saya dituduh sangat sinis, mengepul api, dengan menuduh Fozan sebagai plagiat atas sajak-sajak Neruda. Maka, izinkah saya meluruskan resah gelisah itu sehingga rindu-dendam saling hantam dapat dinetralisir, dengan tanpa menafikan bahwa kita sedang berdiskusi, memberi ruang pada ingatan yang menjadikannya barisan kata penuh makna.
Sungguh beruntung kita, ternyata dunia sastra belum mati di gampong ini.Sebelum bertutur panjang, mari kita membetulkan dahulu penulisan nama “bintang” yang jadi pembicaraan. Nama aslinya Ahmad Fauzan, namun ia lebih suka menggunakan gelar pena Fozan Santa. Ingat, Fozan, bukan Fauzan, kecuali memakai nama sebenarnya, baru ditulis Fauzan (Ahmad Fauzan). Terhadap penyebutan ini, Fozan sendiri yang mengatakan pada saya bahwa dia lebih senang disebut Fozan Santa daripada Fauzan Santa.
Adapun tentang siapa dia selengkapnya, saya kira ruang ini bukan tempatnya kita bergunjing lepas, kendati ada penikmat sastra yang telah membongkar “aib” Fozan saat mencoba menghujat tulisan saya. Itu akibat pembelaan penuh emosi.
Sebagai sebuah karya sastra, melakukan interpretasi terhadapnya sangat dibutuhkan kontemplasi dengan meninggalkan segenap emosi dari dalam diri. Nah, ini yang menurut saya masih rabun tangkap oleh sejumlah pembaca terhadap “Epigram untuk Fozan Santa”, termasuk penikmat yang mencoba menanggapi Epigram tersebut di SI dan penikmat yang berujar di AI.Sudahlah dengan penikmat di SI itu, yang manakala ditelisip dengan seksama, tulisan dia memang penuh sangat emosi dan caplok sana-caplok sini. Namun, bagaimana dengan penikmat di AI? Saya tidak mengatakan pembelaan seorang antropolog terhadap Fozan juga berlapis emosi, tapi pengantar tulisan dia dalam “Soal Plagiat dan Karya Sastra”, hemat saya masih perlu diluruskan. Betapa dia mengklaim isu plagiat dalam sastra Aceh baru menyeruak di daerah ini dipicu dengan terbitnya dua sajak Neruda yang diterjemahkan oleh Fozan.
Padahal, perkara ini sudah lama ada, sejak seniman musik (lagu) Aceh kehilangan estetika kreativitas orisinilnya, dengan menerjemahkan lagu dari luar bahasa Aceh—misal bahasa Indonesia dan India. Penyaduran tersebut bukan hanya pada kata dan bahasa, juga berlaku pada irama dan pukulan genderangnya (baca: musik).Hal ini sejatinya bukanlah kreativitas, melainkan kebutan ide, gagasan, dan proses kreatif sehingga hanya mampu melakukan penggiringan bahasa (juga irama) dari lokal pertama ke bentuk lokal kedua.
Misalkan begini: dalam bahasa Indonesia ada lagu SMS yang bunyinya “Bang, SMS siapa ini Bang” (sebut saja lokal pertama). Kemudian digiring ke dalam bahasa Aceh secara utuh, “Bang, SMS Seupoe nyoe hai Bang” (lokal kedua). Ini penerjemahan secara terang-terangan. Ada juga penerjemahan yang hanya menyesuaikan irama. Kebiasaanya pada lagu-lagu India, seperti “Ko hey me le gaya” menjadi “Meulumpo keu kaya”. Pada lagu “Sanem” diiramakan dalam bahasa Aceh menjadi “Zahara dara idaman/ aneuk gampĂ´ng nyang ulon cinta”. Jauh hari sebelum Kardinata melantunkan lagu Zahara itu, Ashraf sudah duluan menyadurnya menjadi sebuah lagu “Tujuh kata cinta yang kau ucap/ kini selalu masih kuteringat”.
Artinya, telah dilakukan penyaduran dari bahasa orang menjadi bahasa dia, yang kemudian dikatakan itu sebagai karya dia.Jika hal seperti ini disebut telah menduduki peran kreatif yang tinggi, betapa mudah sekali menjadi pencipta karya sastra. Tinggal ambil karya orang, terjemahkan dalam bahasa sendiri, katakan sebagai karya sendiri. Lantas, di mana letak kontemplasi proses penciptaan? Apalagi terhadap puisi, setahu saya, menciptakan puisi itu membutuhkan kontemplasi yang sangat mendalam sehingga setiap kata memiliki makna dan tidak akan pernah terbuang.
Itu makanya, Ajib Rosidi menyatakan plagiat itu dapat terjadi pada karya secara sebagian, juga keseluruhan.Adapun tentang Goenawan Mohamad (GM) yang menyatakan puisi tidak dapat diterjemahkan sehingga ada yang berprasangka Soneta 49 dan Soneta 52 adalah milik Fozan, perlu diluruskan. GM mengatakan seperti itu karena dia mahfum setiap kata dalam puisi menduduki makna yang jika diinterpretasikan dapat menimbulkan multitafsir.
GM khawatir makna pertama yang dimaksudkan oleh si penyair tidak kesampaian tatkala diterjemahkan oleh penyair yang lain. Makanya dia berpendapat puisi tidak layak diterjemahkan. Hal ini dapat dilihat ketika Fozan menerjemahkan No one can stop the river of the dawn menjadi “Tak ada yang sanggup menghambat sungai baru”, ternyata ada pula yang menerjemahkannya, “Tak seorang pun dapat menghentikan sungai fajar itu”.
Terjadi perbedaan seperti ini karena diterjemahkan oleh lain orang. Tidak tertutup kemungkinan, jika diterjemahkan oleh orang lain lagi, akan lain pula hasilnya. Atau kalau saya boleh ikut menerjemahkannya, akan saya ucapkan, “Tak ada yang mampu menghentikan aliran subuh.” Hal ini sesuai dengan hasil interpretasi saya bahwa soneta tersebut bercerita tentang cinta dan rindu yang dipersonifikasikan Neruda melalui alam secara abstrak, yakni ada kata silam, cahaya, esok, dan subuh.
Hemat saya, empat kata ini adalah kata kunci dalam setiap barisnya. Karena itu, daripada penggunaan frasa “sungai baru” dan “sungai fajar”, yang penafsirannya akan menjadi nomina, saya lebih senang menggunakan “aliran fajar” yang masih abstrak seperti kata kunci lainnya: silam, cahaya, dan esok. Nah, bagaimana pula jika sajak tersebut diterjemahkan oleh pengarangnya—Neruda—langsung, akan lain pula mungkin penuturannya, sebab tahulah kita kemampuan berbahasa Indonesia Neruda.
Lantas, salahkah proses penerjemahan tersebut? Tentu tidak, sebab ia diterjemahkan secara bebas oleh lain orang. Karena itu, sejatinya penerjemah adalah orang yang bukan sekedar paham bahasa asing yang diterjemahkannya, tapi juga memahami apa yang dia terjemahkan sehingga makna pertama tidak melenceng.Ingat, ada kata kunci dalam proses sastra ini, yaitu “terjemah”, artinya bukan hasil penciptaan pertama, melainkan hasil kontemplasi dari yang sudah ada. Oleh karena itu, di bagian akhir tulisannya, Fozan dengan jelas mengatakan “Soneta di atas dialihbahasakan dari versi Inggris Cien Sonetos de Amor.”
Hal ini dilakukan Fozan agar dia tidak ingin dikatakan sebagai pengarang penyadur. Ia hanya ingin berkata bahwa telah menerjemahkan Soneta Neruda dari versi Inggris ke dalam bahasa Indonesia. Artinya, ia tidak ‘gila’ mengatakan karya orang menjadi karya dia. Ini pulalah sebenarnya yang saya ungkapkan melalui “Epigram untuk Fozan Santa”, karena saya tahu Fozan mahfum benar tentang proses penciptaan sebuah karya, mana yang dikatakan plagiat, penyadur, penerjemah, atau karya dasar (asli). Namun, banyak orang salah pengertian ketika memahami tulisan saya itu sehingga beranggapan saya telah menuduh Fozan plagiat.
Padahal, kalau mau memahami dengan baik, Epigram itu hanya menegaskan bahwa Fozan sebenarnya penerjemah, bukan pengkarya terhadap Soneta 49 dan Soneta 52 sehingga perlu ditanyakan mengapa kata “karya” bisa melekat di belakang nama Fozan Santa. Jangan-jangan itu terjadi karena kelemahan pemahaman dari redaktur sebuah media. Oleh karenanya, pada sebuah paragraf, saya katakan seorang redakur budaya (sastra) mesti memahami benar terhadap proses kreatif pengkarya sehingga tidak gelagapan menerima karya orang, lantas membubuhkan kata “karya” di depan nama si pengirim naskah.
Ini persoalan manajemen, bahwa memberikan (mempercayakan) sesuatu mesti kepada ahlinya. Jika tidak, ya begini jadinya. Orang mengirimkan karya terjemahan, oleh si penerima dengan gamblang mengatakan karya asli si pengirim, mungkin karena berpikir bahwa yang mengirimkan naskah sudah punya nama besar.Sekali lagi, kekurang-yakinan saya bahwa Fozan berani meletakkan kata “karya” di depan nama dia terhadap Soneta itu berdasarkan pantauan saya pada Soneta 45 dan Soneta 80 yang dimuat di Harian Aceh.
Di sana jelas Fozan menyebutkan “Soneta Soneta Neruda” diterjemahkan oleh Fozan Santa dari versi Inggris. Tidak ada kata “Karya: Fozan Santa” pada sajak yang dimuat Harian Aceh itu. Makanya, saya masih mempertanyakan apakah benar Fozan yang melabelkan kata “karya” di depan nama dia? Bukan malah menuduh dia plagiat seperti sangkaan banyak penikmat sastra.Akhirnya, harus dipahami dan dibedakan pula makna dari setiap kata: plagiat, penyadur, penerjemah, pencontoh, dan penyair/pengarang/penulis asli. Sejatinya, seorang tukang kritik terhadap hasil kritikan orang, mencermati benar setiap baris kalimat yang akan dikritiknya seperti memahami makna kata-kata tersebut di atas. Kita tak ingin memperbanyak salah paham, apalagi sudah dekat hari lebaran, sudah waktunya bermaafan, bukan menanam dendam hanya dari sebuah prasangkaan. [Herman RN Alumni PBSID Unsyiah]

No comments: